Tuesday 28 March 2017

Gagasan Islamisasi Ilmu Sebagai Benteng dari Dikotomi

GAGASAN ISLAMISASI ILMU SEBAGAI BENTENG DARI  DIKOTOMI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Pelajaran SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

DosenPengampu :Ust. Taufik Rizky Sista M.Pd.i


Disusun Oleh :

Muhammad Shofhan Amrullah 362015110014
Alhumam Abdul Mundzir362015110015
Ahmad Qurraisihab 362015110018



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
KAMPUS SIMAN PONOROGO
2017


BAB I
PENDAHULUAN
Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia.
Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan. Rencana kerja al-Faruqi untuk program islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern.




LATAR BELAKANG
Gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat.


RUMUSAN MASALAH

A. Apakah yang dimaksud dengan islamisasi ilmu ?
B. Apa benteng dari islamisasi ilmu?
C. Apa dikotomi dari islamisasi ilmu?


BAB ll
PEMBAHASAN
A. Islamisasi ilmu
Istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam.Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi. 
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.
 
1.  Langkah-Langkah Dalam Islamisasi
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran. Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu–satunya bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur.Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).
Al–Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
d. Kesatuan hidup.
e. Kesatuan umat manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para ilmuan.
 
B. Benteng islamisasi ilmu.
Dalam Islam, epistemologi diasaskan oleh pandangan alam Islam (Islamic worldview). Yakni dengan menempatkan konsep Tuhan dan wahyu sebagai saluran epistemologi yang paling tinggi yang sifatnya mutlak.Karena itu, cara paling mendasar dari proyek Islamisasi Ilmu adalah mengislamkan epistemologi. Yakni, bagaimana memperoleh ilmu dari sarana-sarana yang berdasarkan pandangan alam Islam. Sarana-sarana yang membatasi pada aspek empirik dan rasio belaka dalam memperoleh ilmu tidak sesauai dengan pandangan alam Islam.
Proses islamisasi itu bukan sekedar memasukkan dalil naqli ke dalam sains, akan tetapi yang diislamkan adalah, basis filosofisnya, metode berpikir, atau konsep yang dianggap menafikan metafisik atau bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Di sinilah peran epistemologi sangat mendasar.
Indra mengacu pada aktivitas persepsi dan pengamatan yang mencakup lima indra lahir; yaitu perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat, dan pendengar. Terkait dengan lima panca indra, terdapat indra batin yang mempersepsi image indrawi dan maknanya, menyatukan atau memisahkan, mengkonsep gagasan, dan lain-lain. Kelima indra batin itu adalah; indra umum (common sense), representasi, estimasi, ingatan dan imajinasi. Dalam hal ini, yang dipersepsi adalah ‘rupa’ dari objek lahiriyah atau disebut representasi lahiriah, bukan realitas hakiki itu sendiri. Jadi, yang dipersepsi oleh indra-indera itu bukanlah realitas sesungguhnya dalam dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang menyerupai atau merupakan representasi dari realitas tersebut.
islamisasi ilmu pengetahuan meniscayakan sebuah konstruk dan prinsip epistemologi Islam sebagai dasarnya. Westernisasi ilmu masuk pada aspek paradigma dan epistemologi. Karena itu, proyek Islamisasi tidak bisa menafikan epistemologi yang berdasarkan pandangan alam Islam. Tanpa itu, proyek akan sia-sia dan ke depannya akan memunculkan masalah paradigmatis. Kegagalan proyek islamisasi dan kesalahfahaman tentang islamisasi disebabkan karena menyederhanakan dengan hanya menambah dalil-dalil Islam. Padahal, yang diislamkan adalah pandangan alamnya yang di dalamnya mengandung epistemologi. Wallahu a’lam.
 
C. Dikotomi islamisasi ilmu .
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.
Pendikotomian ilmu yang pada awalnya memang merupakan tradisi islam lebih dari seribu tahun silam, tidak menimbulkan terlalu banyak  problem dalam system pendidikan islam, hingga system pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke Dunia Islam melalui imprealisme. Hal ini terjadi karena, sekalipun dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di dunia Islam, sains modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan.
Adanya dikotomi ilmu pengetahuan ini berimplikasi terhadap dikotomi model pendidikan. Disatu pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalh pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya.
Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Pada lima abad pertama Islam (abad ke-7 sampai 11 M.), para ilmuan muslim tidak mengenal pendikotomian ilmu. Karena pada saat itu, ilmu pengetahuan berpusat pada individu-individu, bukannya sekolah-sekolah.

BAB III
KESIMPULAN
Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi. 
Dalam Islam, epistemologi diasaskan oleh pandangan alam Islam (Islamic worldview). Yakni dengan menempatkan konsep Tuhan dan wahyu sebagai saluran epistemologi yang paling tinggi yang sifatnya mutlak.Karena itu, cara paling mendasar dari proyek Islamisasi Ilmu adalah mengislamkan epistemologi. Yakni, bagaimana memperoleh ilmu dari sarana-sarana yang berdasarkan pandangan alam Islam. Sarana-sarana yang membatasi pada aspek empirik dan rasio belaka dalam memperoleh ilmu tidak sesauai dengan pandangan alam Islam.
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.

Monday 27 March 2017

Madrasah Nizamiyah dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Islam

MADRASAH NIZAMIYAH DAN PENGARUHNYA 
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam Indonesia

Dosen Pengampu: Ustadz Taufik Rizki Sista, M.Pd.

Oleh :
Ilham Ramadhan
Imam Al-Mujahidin



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
1438/2017


BAB I
Pendahuluan
  A.    Latar Belakang
Menurut ajaran Islam, manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna dan lebih di muliakan dari makhluq lainya, kelebihan manusia ialah mempunyai akal dan daya kehidupan yang dapat membentuk peradaban dan selalu mendambakan kesempurnaan baik lahir maupun batin.
Dari aspek pendidikan kita dapat melihat pertumbuhan dan perkembangan  dalm pengajaran, dimulai dari kegiatan Rasulullah dalam pembelajaran yang biasa disebut Ta’lim untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada sahabatnya dengan membentuk tempat belajar yang disebut Dar al Arqam.[1]
Usaha pendidikan ini terus berkembang oleh generasi berikutnya, Salah satu jenis lembaga pendidikan tinggi yang muncul pada akhir abad IV hijriah adalah madrasah Nizhamiyah yg merupakan sebuah lembaga pendidikan yang didirikan tahun 457-459 H/ 1065-1067 M (abad IV) oleh Nizam Al-Mulk dari dinasti Saljuk. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah yang pertama kali muncul dalam sejarah pendidikan islam yang berbentuk lembaga pendidikan.[2]
  B.    Rumusan Masalah
1.       Bagaimana sejarah Madrasah Nizhamiyah ?
2.       Apa pengaruh Madrasah Nizhamiyah terhadap pendidikan islam ?
  C.    Tujuan Masalah
1.       Untuk mengetahui sejarah Madrasah Nizhamiyah
2.       Untuk mengetahui pengaruh Madrasah Nizhamiyah terhadap pendidikan islam
BAB II
Pembahasan
  A.    Sejarah Berdirinya Madrasah Nizhamiyah
Kata madrasah sendiri merupakan isim makan dari kata darasa yang berarti belajar. Jadi madrasah berarti tempat belajar siswa atau mahasiswa.[3] Dalam sjarah pendidikan Islam makna madrasah tersebut memegang peranan penting sebagai Institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya.
Penjelmaan istilah madrasah sendiri secara definitif baru muncul pada abad Ke-11, penjelmaan istilah “madrasah” merupakan Tranformasi dari masjid ke madrasah ada beberapa teori yg berkembang seputar proses transformasi tersebut antaralain: Georgi Makdisi(1981) menjelaskan bahwa madrasah merupakan transformasi institusi pendidikan dari masjid ke madrasah secara tidak langsung melalui tiga tahab; pertama:tahab masjid, Kedua:tahab masjid-khan, ketiga: tahab madrasah. Sedang menurut Ahmad Syalabi menjelaskan bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung, karna disebabkan oleh konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan yg dilaksanakan di masjid yg tidak hanya kegiatan ibadah mahdhah namun juga pendidikan, politik dan sebagainya.
Terkait dengan sejarah munculnya madrasah pertama sekali, para pemerhati sejarah terjadi perbedaan pendapat, menurut Ali  al Jumbulati (1994) mengatakan sebelum abad ke-10 telah berdiriMadrasah al baihaqiah di kota Nisabur, yg didirikan oleh Abu Hasan al-Baihaqi (w.414H). menurut syalabi (dalam Mehdi,2003) bahwa Nizham Al Muluk adalah orang yang sangat berjasa kepada para sarjana syafiiyah dan para Teolog Asy’ariyah untuk mengembalikan mereka ke Nisyapur untuk melanjutkan karir Ilmiahnya yg sebelumnya mengasingkan diri ke Hijaz.
Pada pembahasan makalah ini akan menitik beratkan pada studi madrasah Nizhamiyah yang dianggap oleh kalangan sejarah sebagai madrasah pertama yang berdiri dalam artian bahwa madrasah Nizhamiyah merupak Pondasi sekaligus Prototype dari kelanjutan pendidikan Islam saat ini. Madrasah Nizhamiyah seperti disebut di awal didirikan oleh Nizham Al Muluk dengan nama aslinya adalah Abu Ali al Hasan bin Ali binIshaq at Tusi, seorang perdana menteri Dinasti salajikah pada masa sultan Alp-Arslan dan Sultan maliksyah pada abad ke 5 / abad ke 11 M, dan diresmikan pada tahun 459 H/1067 M.
Adapaun latar belakang Madrasah Nizhamiyah antara lain :
1.      Latar belakang berdirinya Madrasah Nizhamiyah
Latar belakang berdirinya Madrasah Nizhamiyah yang paling mendasar dalam beberapa literatur sejarah peradaban Islam adalah adanya perseteruan antara kelompok sunni Dinasti Saljuk dengan kelompok Syiah Dinasti fatimiyah di Mesir, Dinasti Saljuq berkeyakinan bahwa Ideologi harus dilawan dengan Ideologi, karenanya Institusi Madrasah merupakan  alat atau senjata untuk melawan Syiah dengan menanamkan doktrin-doktrin sunni.[4]
Menurut Mahmud Yunus, di antara motivasi pendirian banyak madrasah di masa pengaruh Turki (Saljuk) adalah untuk mengambil hati rakyat, mengharap pahala dan ampunan dari Allah, memelihara kehidupan anak-anaknya dikemudian hari, memperkuat aliran keagamaan bagi sultan atau pembesar. Motif-motif ini, terutama motif politik dan motif doktrin keagamaan tampak dominan pada Madrasah Nizamiyah. Keterangan yang mendukung hal tersebut adalah sebagai berikut: Diakui bahwa penaklukan Bani Saljuk terhadap Dinasti Buwaihi di Irak dan masuknya mereka ke kota Baghdad pada tanggal 25 Muharram 447H, merupakan kemenangan Ahlussunnah terhadap Syi'ah. Penguasa Saljuk-mereka merupakan pengikut fanatik Sunni-menginginkan akidah mereka tertanam kuat dan terkikisnya paham-paham Syi'ah. Hal itu akan dapat terealisasikan dengan jalan penyebaran ilmu, untuk itu mereka mendirikan madrasah.[5]
2.      Sistem pendidikan Madrasah Nizhamiyah
Berikut secara sederhana akan dibahas komponen-komponen pendidikan yang terdapat pada Madrasah Nizhamiyah yang dianggap sebagai model bagi system pendidikan modern:
a.     Tujuan Pendidikan Madrasah Nizhamiyah Baghdad
Menurut Abdul Majid Abdul Futuh dalam buku karya (Abuddin Nata, 2004: 65): tujuan pokok pendidikan Madrasah Nizhamiyah: Pertama, mengkader calon-calon ulama yang menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah; kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab Sunni dan menyebarkannya ketempat lain; ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintah, memimpin kantornya, khususnya dibidang peradilan dan manajemen.   
b.     Kurikulum dan Metode Pengajaran Madrasah Nizhamiyah Baghdad
Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum Madrasah Nizhamiyah tidak diketahui dengan jelas. Namun dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syari’ah diajarkan disini sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Fakta-fakta yang mendukung pernyataan ini adalah: pertama, tidak ada seorangpun diantara ahli sejarah yang mengatakan bahwa diantara materi pelajaran terdapat ilmu-ilmu umum. Kedua, guru-guru

yang mengajar di Madrasah Nizhamiyah merupakan ulama-ulama Syari’ah. Ketiga, pendiri Madrasah ini bukanlah pembela filsafat. Keempat, zaman berdirinya Madrasah ini merupakan zaman penindasan ilmu filsafat dan para filosof.
Dengan terfokusnya pengajaran di Madrasah Nizhamiyah kepada ilmu-ilmu syariah, tentulah ilmu fiqh mendapat perioritas utama. Pembahasan fiqh yang menyangkut hampir semua masalah-masalah kemasyarakatan, memang tepat sebagai bekal untuk calon-calon birokrat atau pemimpin masyarakat kala  itu. Pengajaran fiqh yang bertumpu kepada pemahaman sumber-sumber yang berbahasa Arab, maka penguasaan bahasa Arab berikut ilmu pendukungnya sangat ditekankan.
Pelajaran di Madrasah Nizhamiyah berpusat pada Al-Quran (membaca, menghafal dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi Muhammad SAW dan berhitung dengan menitikberatkan pada mazhab Syafi’I dan system teologi Asy’ ariyah.
c.     Tenaga pengajar dan pelajar Madrasah Nizhamiyah Baghdad
Madrasah Nizhamiyah merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan pendidikan tingkat tinggi pula. Oleh karena itu, pemilihan guru-guru yang mengajar di Madrasah ini sangat selektif. Ulama-ulama terkemuka pada waktu itu dan guru-guru besar yang masyhur dan mempunyai kompetensi di bidangnyalah yang dipilih untuk mengajar. Status guru-guru tersebut ditetapkan dengan pengangkatan oleh khalifah dan bertugas dalam masa tertentu.



Menurut Mahmud Yunus dalam buku karya (Samsul Nizar, 2007: 164), guru-guru yang memberikan pelajaran di Madrasah Nizhamiyah antara lain yaitu:
1)      Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, seorang faqih Baghdad
2)      Syekh Abu Nasr as-Sabbagh
3)      Abu Abdullah at-Tabari
4)      Abu Muhammad asy-Syirazi
5)      Abu Qasim al-Alawi
6)      At-Tibrizi
7)      Al-Qazwini
8)      Al-Fairuzabadi
9)      Imam al-Haramain Abdul Ma’ali al-Juwaini
10)   Imam al-Ghazali.
d.     Pendanaan dan Sarana Madrasah Nizhamiyah Baghdad
Sumber dana yang paling lazim bagi pembangunan Madrasah adalah lembaga wakaf, sebuah cara tradisional dalam Islam untuk mendukung lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat umum (Abuddin Nata, 2004: 70). Dalam pembangunan Madrasah, Wazir Nizam Al-Mulk menyediakan dana wakaf untuk membiayai mudarris, imam dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama. Dengan dana itu, ia mendirikan Madrasah-Madrasah Nizhamiyah di hampir seluruh wilayah kekuasaan Bani Saljuk saat itu. mendirikan perpustakaan dengan lebih kurang 6.000 jilid buku lengkap dengan katalognya, serta para pegawai dan sisitem yang memudahkan dalam hal aktifitas peminjaman buku.[6]

   B.      Pengaruh Madrasah Nizhamiyah Terhadap Pendidikan Islam
Madrasah Nizhamiayah telah banyak memberikan pengaruh terhadap masyarakat, baik di bidang politik, ekonomi, maupun bidang sosial keagamaan.
Madrasah Nizhamiyah diterima oleh masyarakat karena sesuai dengan lingkungan dan keyakinannya dilihat dari segi sosial keagamaan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: Ajaran yang diberikan di Madrasah Nizhamiyah adalah ajaran sunni, sesuai dengan ajaran yang dianut oleh sebagian besar masyarakat pada saat itu, Madrasah Nizhamiyah diajar oleh para ulama terkemuka, Madrasah ini memfokuskan pada pelajaran fiqh yang dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya dalam rangka hidup dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran dan keyakinan mereka.[7]
Kehadiran Madrasah Nizhamiyah telah memberi pengaruh yang besar pada masyarakat baik bidang politik, ekonomi, maupun sosial keagamaan .Dalam bidang ekomomi, madrasah ini telah menghasilkan lulusan yang siap menjadi pegawai pemerintah dibidang hukum dan administrasi. Pada sosial keagamaan, madrasah yang memfokuskan pada ajaran fiqih, dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat umumnya.
Madrasah pada zaman Abbasiyah ini tampaknya ditangani langsung dan serius oleh pemerintah. Melalui lembaga madrasah muncullah kecintaan dan gairah pada intelektual islam terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai ilmu agama dan sains yang mereka hasilkan.

Mengingat gurunya adalah ulama besar yang termasyhur salah satunya adalah Abu Hamid bin Muhammad al- Ghazali. Al- ghazali terkenal dengan asas mengajarnya, yaitu:
1.      Memperhatikan tingkat daya berpikir anak
2.      Menerangkan pelajaran dengan jelas
3.      Mengajarkan dari konkrit ke abstrak
4.      Mengajarkan ilmu pengetahuan secara berangsur-angsur.
Ada beberapa hal yang dapat di ambil dari sejarah berdirinya Madrasah Nizhamiyah serta perkembanganya, dan dapat di aplikasikan ke sistem pendidikan Islam dewasa ini antara lain:
1.      Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam di jadikan sebagai sarana atau wadah dalam menghidupkan mazhab-mazhab;mazhab Sunni dan paham teologi Asy’ariyah.
2.      Madrsah sebagai Institusi pendidikan Islam juga di jadikan  sebagai tempat untuk pengembangan Ilmu-Ilmu Islam antara lain Ilmu Fiqih,Al qur’an dan tafsir, Hadis, Ilmu hadis, nahwu ,sharaf, bahasa arab dan kesusasteraan.
3.      Madrasah sebagai Institusi pendidikan Islam dijadikan sebagai panjang tangan untuk memperhatikan kekuasaan dan pergumulan pemikiran keagamaan, sehingga banyak madrasah nizhamiyah didirikan  diberbagai daerah; kota Balkh, nisabur, Isfahan Mosul,Basra, Tibristan dll
4.      Nizamul al mulk dalam mengelola pendidikan baik sebagai pencetus ide pertama berdirinya, sekaligus sebagai bagian dari pemerintah saat itu, selalu menunjukkan kesungguhannya hal ini tercermin dalam kesediaan menyisihkan waktunya untuk memantau secara langsung proses pendidikan dengan mengadakan kunjungan kemadrasah madrasah Nizamiyyah diberbagai kota. Bahkan Ia ikut terlibat dalam menyimak dan mendengarkan kuliah kuliah yang diberikan dan jga ikut memberikan sumbangan pemikiran di depan para pelajar di madrasah tersebut.
5.      Madrasah Nizhamiyah sebagi institusi pendidikan Islam Mengajarkan Al Qur’an, membaca, menghafal dan menulis ( sebagai pusat kurikulum) satra arab dan sejarah Nabi Saw dan berhitung serta menitik beratkan pada mazhab syafii dan teologi Asy’ariyah. Tenaga pengajar selalu berdiri didepan ruang kelas meenyajikan materi2 kuliah sementara pelajar mendengarkan dengan khidmat sambil mencatat, selanjutnya diadakan dialog (antara murid dan guru) terkait dengan materi2 yg dibahas.
6.      Status para pengajar ditentukan pengangkatanaya oleh pemerintah
7.      Keterlibatan pemerintah tidak hanya sebatas perhatiannya saja, namun juga telah menyediakan alokasi dana yang cukup besar untuk keperluan fisik dan non fisik ( beasiswa bagi pelajar, pensiun bagi pengajar).
8.      Dan yang terakhir adalah proses pendirian madrasah Nizhamiyah telah mendapat dukungan dari berbagai pihak, pemerintah dan ulama dan masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa madrasah Nizamiyyah merupakan kemauan dan keinginan bersama bukan sepihak. Disamping itu juga ia bis dijadikan sebagai cermin dalam mencermati gambaran dan kondisi masyarakat saat itu.[8]

BAB III

Kesimpulan
   A.    Sejarah Berdirinya Madrasah Nizhamiyah
Penjelmaan istilah madrasah sendiri secara definitif baru muncul pada abad Ke-11, penjelmaan istilah “madrasah” merupakan Tranformasi dari masjid ke madrasah ada beberapa teori yg berkembang seputar proses transformasi tersebut antaralain: Georgi Makdisi(1981) menjelaskan bahwa madrasah merupakan transformasi institusi pendidikan dari masjid ke madrasah secara tidak langsung melalui tiga tahab; pertama:tahab masjid, Kedua:tahab masjid-khan, ketiga: tahab madrasah. Sedang menurut Ahmad Syalabi menjelaskan bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung, karna disebabkan oleh konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan yg dilaksanakan di masjid yg tidak hanya kegiatan ibadah mahdhah namun juga pendidikan, politik dan sebagainya.
 Latar belakang berdirinya Madrasah Nizhamiyah yang paling mendasar dalam beberapa literatur sejarah peradaban Islam adalah adanya perseteruan antara kelompok sunni Dinasti Saljuk dengan kelompok Syiah Dinasti fatimiyah di Mesir, Dinasti Saljuq berkeyakinan bahwa Ideologi harus dilawan dengan Ideologi, karenanya Institusi Madrasah merupakan  alat atau senjata untuk melawan Syiah dengan menanamkan doktrin-doktrin sunni.
Menurut Mahmud Yunus, di antara motivasi pendirian banyak madrasah di masa pengaruh Turki (Saljuk) adalah untuk mengambil hati rakyat, mengharap pahala dan ampunan dari Allah, memelihara kehidupan anak-anaknya dikemudian hari, memperkuat aliran keagamaan bagi sultan atau pembesar. Motif-motif ini, terutama motif politik dan motif doktrin keagamaan tampak dominan pada Madrasah Nizamiyah. Keterangan yang mendukung hal tersebut adalah sebagai berikut: Diakui bahwa penaklukan Bani Saljuk terhadap Dinasti Buwaihi di Irak dan masuknya mereka ke kota Baghdad pada tanggal 25 Muharram 447H, merupakan kemenangan Ahlussunnah terhadap Syi'ah. Penguasa Saljuk-mereka merupakan pengikut fanatik Sunni-menginginkan akidah mereka tertanam kuat dan terkikisnya paham-paham Syi'ah. Hal itu akan dapat terealisasikan dengan jalan penyebaran ilmu, untuk itu mereka mendirikan madrasah.

  B.    Pengaruh Madrasah Nizhamiyah Terhadap Pendidikan Islam
Ada beberapa hal yang dapat di ambil dari sejarah berdirinya Madrasah Nizhamiyah serta perkembanganya, dan dapat di aplikasikan ke sistem pendidikan Islam dewasa ini antara lain:
1.      Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam di jadikan sebagai sarana atau wadah dalam menghidupkan mazhab-mazhab;mazhab Sunni dan paham teologi Asy’ariyah.
2.      Madrsah sebagai Institusi pendidikan Islam juga di jadikan  sebagai tempat untuk pengembangan Ilmu-Ilmu Islam antara lain Ilmu Fiqih,Al qur’an dan tafsir, Hadis, Ilmu hadis, nahwu ,sharaf, bahasa arab dan kesusasteraan.
3.      Madrasah sebagai Institusi pendidikan Islam dijadikan sebagai panjang tangan untuk memperhatikan kekuasaan dan pergumulan pemikiran keagamaan, sehingga banyak madrasah nizhamiyah didirikan  diberbagai daerah; kota Balkh, nisabur, Isfahan Mosul,Basra, Tibristan dll
4.      Nizamul al mulk dalam mengelola pendidikan baik sebagai pencetus ide pertama berdirinya, sekaligus sebagai bagian dari pemerintah saat itu, selalu menunjukkan kesungguhannya hal ini tercermin dalam kesediaan menyisihkan waktunya untuk memantau secara langsung proses pendidikan dengan mengadakan kunjungan kemadrasah madrasah Nizamiyyah diberbagai kota. Bahkan Ia ikut terlibat dalam menyimak dan mendengarkan kuliah kuliah yang diberikan dan jga ikut memberikan sumbangan pemikiran di depan para pelajar di madrasah tersebut.
5.      Madrasah Nizhamiyah sebagi institusi pendidikan Islam Mengajarkan Al Qur’an, membaca, menghafal dan menulis ( sebagai pusat kurikulum) satra arab dan sejarah Nabi Saw dan berhitung serta menitik beratkan pada mazhab syafii dan teologi Asy’ariyah. Tenaga pengajar selalu berdiri didepan ruang kelas meenyajikan materi2 kuliah sementara pelajar mendengarkan dengan khidmat sambil mencatat, selanjutnya diadakan dialog (antara murid dan guru) terkait dengan materi2 yg dibahas.
6.      Status para pengajar ditentukan pengangkatanaya oleh pemerintah
7.      Keterlibatan pemerintah tidak hanya sebatas perhatiannya saja, namun juga telah menyediakan alokasi dana yang cukup besar untuk keperluan fisik dan non fisik ( beasiswa bagi pelajar, pensiun bagi pengajar).
Dan yang terakhir adalah proses pendirian madrasah Nizhamiyah telah mendapat dukungan dari berbagai pihak, pemerintah dan ulama dan masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa madrasah Nizamiyyah merupakan kemauan dan keinginan bersama bukan sepihak. Disamping itu juga ia bis dijadikan sebagai cermin dalam mencermati gambaran dan kondisi masyarakat saat itu.




[1] Suwito dkk, Sejarah sosial pendidikan Islam, kencana , Jakarta 2008, hal 10
[2] Ibid hal 12
[3] Ibid hal 214
[4]Dr, Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000, hal 120 
[5] Ibid hal 122
[6] Ibid hal 123-124
[7] Prof. Dr. Suwito dkk. Hal 218
[8] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian Atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, Bandung:                         Citapustaka Media, Edisi Revisi, 2007, hal 70.
                                                
                                                  Daftar Pustaka

Asari Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian Atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, Bandung: Citapustaka Media, Edisi Revisi, 2007.
Suwito dkk, Sejarah sosial pendidikan Islam, kencana , Jakarta 2008.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000