GAGASAN ISLAMISASI ILMU SEBAGAI
BENTENG DARI DIKOTOMI
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Pelajaran SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
DosenPengampu :Ust. Taufik Rizky Sista M.Pd.i
Disusun Oleh :
Muhammad Shofhan
Amrullah 362015110014
Alhumam Abdul Mundzir362015110015
Ahmad Qurraisihab 362015110018
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
KAMPUS SIMAN PONOROGO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Islamisasi
merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan
integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology).
Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang
fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan
muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang
pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh
King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh
sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan
serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat
Islam seluruh dunia.
Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang
menyeluruh untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil
dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan
diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan. Rencana kerja al-Faruqi untuk program
islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai
disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga,
menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
modern. Keempat.
mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan
ilmu pengetahuan modern.
LATAR BELAKANG
Gagasan al-Attas
tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan
pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas
nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi
syarat nilai (value laden).
Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk
masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang
dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan
kepribadian peradaban Barat.
Menurut
al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion)
dan skeptisisme (skepticism). Barat telah mengangkat
sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal
metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana
epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran. Tidak
hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan
alam yaitu hewan, nabati dan mineral.
Padahal
sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban
Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah,
meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari
para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan
muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan.
Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat
manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan
percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam.
Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan
dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan
terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview)
dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apakah yang
dimaksud dengan islamisasi ilmu ?
B. Apa benteng
dari islamisasi ilmu?
C. Apa dikotomi
dari islamisasi ilmu?
BAB ll
PEMBAHASAN
A. Islamisasi
ilmu
Istilah
Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam.
Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti
bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai
langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic
framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam.Untuk itu,
pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam
wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi.
Al-Attas juga
memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen
jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada
rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua
tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan
Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan
pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini
menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original
nature).
Islamisasi ilmu
pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti
mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu
terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aI-Faruqi, islamisasi
ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara
menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan
memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin
harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam
metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya.
Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi
Islam yang bersumberkan pada tauhid.
1.
Langkah-Langkah Dalam Islamisasi
Dalam pandangan
al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus
dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini
ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara
bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka,
islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran. Islamisasi bahasa Arab yang termuati
ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di
antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu–satunya bahasa yang hidup yang
diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai
tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung
pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial
seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci
al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan,
tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur.Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam
dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan.
Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh
membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi
keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan,
keadilan, dan kekuatan iman.Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang
berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran
seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat
dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan
dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason),
pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).
Al–Faruqi menggariskan
beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi
dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam
semesta.
c. Kesatuan kebenaran
dan kesatuan pengetahuan.
e. Kesatuan umat
manusia.
Islam
menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas
yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak
bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi
kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang
dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya
menjadi landasan bagi para ilmuan.
B. Benteng islamisasi ilmu.
Dalam Islam,
epistemologi diasaskan oleh pandangan alam Islam (Islamic worldview).
Yakni dengan menempatkan konsep Tuhan dan wahyu sebagai saluran epistemologi
yang paling tinggi yang sifatnya mutlak.Karena itu, cara paling mendasar dari
proyek Islamisasi Ilmu adalah mengislamkan epistemologi. Yakni, bagaimana
memperoleh ilmu dari sarana-sarana yang berdasarkan pandangan alam Islam. Sarana-sarana
yang membatasi pada aspek empirik dan rasio belaka dalam memperoleh ilmu tidak
sesauai dengan pandangan alam Islam.
Proses
islamisasi itu bukan sekedar memasukkan dalil naqli ke dalam sains, akan tetapi
yang diislamkan adalah, basis filosofisnya, metode berpikir, atau konsep yang
dianggap menafikan metafisik atau bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Di
sinilah peran epistemologi sangat mendasar.
Indra mengacu
pada aktivitas persepsi dan pengamatan yang mencakup lima indra lahir; yaitu
perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat, dan pendengar. Terkait dengan
lima panca indra, terdapat indra batin yang mempersepsi image indrawi dan
maknanya, menyatukan atau memisahkan, mengkonsep gagasan, dan lain-lain. Kelima
indra batin itu adalah; indra umum (common sense), representasi, estimasi,
ingatan dan imajinasi. Dalam hal ini, yang dipersepsi adalah ‘rupa’ dari objek
lahiriyah atau disebut representasi lahiriah, bukan realitas hakiki itu
sendiri. Jadi, yang dipersepsi oleh indra-indera itu bukanlah realitas
sesungguhnya dalam dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang menyerupai atau
merupakan representasi dari realitas tersebut.
islamisasi ilmu
pengetahuan meniscayakan sebuah konstruk dan prinsip epistemologi Islam sebagai
dasarnya. Westernisasi ilmu masuk pada aspek paradigma dan epistemologi. Karena
itu, proyek Islamisasi tidak bisa menafikan epistemologi yang berdasarkan
pandangan alam Islam. Tanpa itu, proyek akan sia-sia dan ke depannya akan
memunculkan masalah paradigmatis. Kegagalan proyek islamisasi dan
kesalahfahaman tentang islamisasi disebabkan karena menyederhanakan dengan
hanya menambah dalil-dalil Islam. Padahal, yang diislamkan adalah pandangan
alamnya yang di dalamnya mengandung epistemologi. Wallahu a’lam.
C. Dikotomi islamisasi ilmu .
Dikotomi adalah
pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Secara
terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang
kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi
al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.
Pendikotomian
ilmu yang pada awalnya memang merupakan tradisi islam lebih dari seribu tahun
silam, tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam system pendidikan
islam, hingga system pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke Dunia Islam
melalui imprealisme. Hal ini terjadi karena, sekalipun dikotomi antara
ilmu-ilmu agama dan non agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik,
seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, ia tidak mengingkari, tetapi
mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut.
Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di dunia Islam, sains modern Barat sering
menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan.
Adanya dikotomi
ilmu pengetahuan ini berimplikasi terhadap dikotomi model pendidikan. Disatu
pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari
nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam
masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara
teoritis makna dikotomi adalh pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis
menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak
dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya.
Dalam kajian
historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan
dengan masa renaissance di Barat. Pada lima abad pertama Islam (abad ke-7
sampai 11 M.), para ilmuan muslim tidak mengenal pendikotomian ilmu. Karena
pada saat itu, ilmu pengetahuan berpusat pada individu-individu, bukannya
sekolah-sekolah.
BAB III
KESIMPULAN
Islamisasi
adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam.
Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti
bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai
langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic
framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu,
pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam
wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi.
Dalam Islam,
epistemologi diasaskan oleh pandangan alam Islam (Islamic worldview).
Yakni dengan menempatkan konsep Tuhan dan wahyu sebagai saluran epistemologi
yang paling tinggi yang sifatnya mutlak.Karena itu, cara paling mendasar dari
proyek Islamisasi Ilmu adalah mengislamkan epistemologi. Yakni, bagaimana
memperoleh ilmu dari sarana-sarana yang berdasarkan pandangan alam Islam.
Sarana-sarana yang membatasi pada aspek empirik dan rasio belaka dalam
memperoleh ilmu tidak sesauai dengan pandangan alam Islam.
Dikotomi adalah
pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Secara terminologis,
dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian
berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi,
dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.
No comments:
Post a Comment