Monday 27 March 2017

Perkembangan Pendidikan Islam Era Klasik Zaman Keemasan

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM ERA 
KLASIK ZAMAN KEEMASAN

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam Indonesia
Dosen Pengampu: Ustadz Taufik Rizki Sista, M.Pd.


                                                                Oleh :
Syamsul Aimmah
Imadul Bilad
Irfan Wahyu Syifa



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
1438/2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW.  Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi. Pembaharuan-pembaharuan dalam islam telah mengalami kemajuan yang sangat pesat pada zaman dinasti Umayyah dan Abbasiyah.Namun sayang kemajuan tersebut tidak dapat dipegang erat oleh umat islam saat ini, hingga pada akhinya kemajuan dari dunia baratlah yang kini menjadi kiblat ilmu pengetahuan padahal mereka bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode berfikir islam yang rasional pada massa klasik.
           Dalam makalah singkat ini, kami  akan menyusuri bagaimana sistem pendidikan pada masa klasik dan  pemikiran para tokoh islam dalam mengembangkan pendidikan islam seperti al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih.
            Kami mengharapkan dari makalah ini dapat meningkatkan kesadaran umat islam akan pentingnya pendidkan dan akan lahir kontribusi pemikiran mengapresiasi sosok pemikir pada zaman klasik yang karyanya membanjiri "ladang-ladang pengetahuan" dan menyentuh seluruh aspek keilmuan ini.

B. Rumusan Masalah
             Berdasarkan latar belakang diatas kami merumuskan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1.      Bagaimana pengertian pemikiran pendidikan klasik
2.      Bagaimana metode pendidikan pada era klasik
3.      Bagaimana pendapat ulama besar tentang pendidikan klasik

C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian pendidikan klasik
2.      Untuk mengetahui metode pendidikan pada era klasik
3.      Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang pendidikan klasik
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam Klasik
          Pendidikan dari segi bahasa berasal dari bahasa kata dasar didik.Pendidikan sebagai kata benda berati proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.[1]
         Pendidikan menurut istilah adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada terdidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju kepribadian yang lebih baik, yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal.[2]
          Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan baik kehidupan yang sifatnya duniawi maupun yang sifatnya ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang baik dan terarah.
         Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan berikut ini:
          Menurut Prof.Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany yang dikutip oleh Mahmud dalam buku pemikiran pendidikan islam mendefinisikan pendidikan islam sebagai perubahan yang diinginkan dan diusahakan, baik pada tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya,atau  dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[3]
         Dr. Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan pengertian pendidikan islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.
         Pemikiran berasal dari kata pikir yang berarti proses, cara, atau perbuatan memikir yaaitu menggunakan akal budi untuk memuttuskan persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana.
         Untuk memahami pemikiran pendidikan islam, kata islam merupakan sebagai kata kunci yang khas pada pemikiran pendidikan.Jadi dapat didefinisikan bahwa pemikiran pendidikan islam adalah pemikiran pendidikan yang secara khas memiliki ciri islami.[4]
          Klasik artinya kuno yang  mempunyai nilai atau mutu yang diakui dan menjadi tolok ukur kesempurnaan yang abadi; tertinggi; karya sastra yg bernilai tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolok ukur atau karya susastra zaman kuno yang bernilai kekal; termasyhur karena bersejarah.
          Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses.[5]
         Dari pengertian-pengartiaan diatas penulis menyimpulkan bahwa pemikiran pendidikan islam klasik adalah pemikiran pendidikan yang secara khas memiliki ciri islami yang diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis yang bertujuan untukmemelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya islam.

B.  Pendidikan Islam Pada Masa Keemasan
             Masa bani Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ''The Golden Age''. Pada masa itu umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, maupun peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pemerintah Bani Abbasiyah berkuasa selama 5 abad, yaitu dari tahun 750-1258 M. Pada awalnya pusat pemerintahan di kota Kufah kemudian pindah ke Hira lalu ke Abar (Hasyimiyah) dan akhirnya ke Baghdad.
            Baghdad adalah ibu kota pemerintah bani Abbasiyah yang paling strategis yaitu, kota ini di bangun oleh Abu ja'far al Mansur dengan bentuk bulat, dan arsitek pembangunan adalah Hajjaj bin Art dan Amron bin Wahdah. Baghdad menjadi kota internasional dan disebut sebagai kota seribu malam.[6]
       Ahli sejarah membagi pemerintahan bani Abbasiyah menjadi 5 priode yang didasarkan pada kondisi politik pemerintahan.
1. Periode Pertama (tahun 750 – 847 M) Pada periode ini terdapat pengaruh persia yaitu masuknya keluarga Barmak dalam pemerintahan bani Abbasiyah dan dalam bidang ilmu pengetahuan. Puncak kejayaan terjadi pada periode ini yaitu ketika di pinpin oleh khalifah Harun Al Rasyid. Semua sektor perekonomian maju, ilmu pengetehuan berkembang pesat sehingga rakyat menjadi sejahtera.
2. Periode kedua (tahun 874 – 945 M) Bangsa Turki yang menjadi tentara mulai mendominasi pemerintahan bani Abbasiyah. Mereka memilih dan menentukan khalifah sesuai dengan kehendaknya. Pada masa ini bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran.
3. Periode ketiga (tahun 945 – 1055 M) Pada masa bani Abbasiyah di bawah kekuasaan bani Buwaihi. Khalifah posisinya makin lemah hanya seperti pegawai yang digaji saja karena bani Buwaihi berpaham Syi'ah sedangkan bani Abbasiyah berpaham Sunni.
4. Periode keempat (tahun 1055 – 1199 M) Periode ini ditandai dengan masuknya bani Saljuk dalam pemerintahan bani Abbasiyah karena telah mengalahkan bani Buwaihi. Keadaan khalifah mulai membaik terutama bidang agama karena bani Saljuk dengan bani Abbasiyah sama-sama sepaham Sunni.
5. Periode kelima (tahun 1199 – 1258 M) Pemerintahan bani Abbasiyah tidak berada di bawah kekuasaan siapapun tetapi wilayah kekuasaannya hanya tinggal Baghdad dan sekitarnya. Pada tahun 1258 M, tentara Mongol dipinpin oleh Hulagu Khan masuk kota Baghdad menghancur leburkan kota Baghdad dan isinya, sehingga berakhirlah bani Abbasiyah. Sebenarnya zaman keemasan bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Di masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis Kesenian, terutama kesusastraan pada khususnya, kebudayaan pada umumnya.[7]

C.  Landasan Dasar Pendidikan Islam
            Landasan dasar pendidikan islam terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist yaitu sebagai berikut :
1.      QS. Al-Alaq 1-5
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الّذي خَلَقََ خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍِ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمٍُ الّذِي عَلَّمَ بِالقَلَمِِ عَلَّمَ الإِنْسَانَ ماَلَمْ يَعْلَمْْ
Artinya :”Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan tuhanmu lah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahui.[8]        
Dari Abi Darda ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW beliau bersabda: keutamaan orang alim dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan dibanding bintang-bintang, sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, sesungguhnya mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambil warisan itu berarti ia mengambil bagian yang sempurna”. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
Dari riwayat Hudaifah ibnil Yaman RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka, dan barang siapa pada waktu pagi dan petang tidak memberi nasihat bagi Allah, kitabnya, imamnya, dan umumnya muslimin, maka ia juga tidak termasuk golongan mereka”. (H.R. At-tabrany)

D.      Guru Pada Masa Klasik
            Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia. Dikatakan berat karena guru mengemban kepercayaan (amanat) yang diberikan oleh masyarakat guna melaksanakan fungsi pendidikan yang bertanggung jawab memantau perkembangan kepribadian anak dari segala dimensinya dan bertanggung jawab memberikan pelayanan yang baik, membangkitkan mereka dan mengangkat derajat mereka ke arah yang lebih baik.[9]
            Peran guru dalam pada masa klasik memiliki peran yang besar karena keberadaanya mempunyai andil yang besar dalam sebuah pemerintah, dan bahkan guru dapat dijadikan corong untuk menyebarkan ajaran atau aliran yang dianut oleh penguasa.
            Pranata sosial dan guru pada masa klasik diklasifikasikan ke dalam 3 golongan yaitu:
a.     Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kutab)
Guru sekolah kanak-kanak mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang masih terbilang dangkal.
b.     Para guru yang mengajar para putera mahkota (muaddib)
Pendidik putera mahkota mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib.
c.     Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah
Guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat. Hal ini disebabkan  penguasan mereka terhadap ilmu pengetahuan yang mendalam dan berbobot.

E.  Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 750-1350 M
 Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.[10]
1. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah
2. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika membatasi mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kecuali, kesukaran menbedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.
3. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Menurut rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-quran dan agama. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu pengetahuan.[11]
2. Kurikulum Setelah Berdirinya Madrasah
Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sumbangan islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hemegoni negara terlalu kuat terhadap madrasah ini.
F. Metode Pendidikan Islam Klasik
            Pendidikan Islam adalah rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan – kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga terjadilah perubahan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup. Untuk mencapai pada pengertian pendidikan tersebut tentunya seorang pendidik memerlukan metode-metode yang tepat dalam pelaksanaan pendidikan. Adapun metode yang digunakan dalam pendidikan klasik antara lain :
1.     Metode ceramah.
2.     Dialog.
3.     Diskusi / tanya jawab.
4.     Metode perumpamaan.
5.     Metode kisah.
6.     Metode pembiasaan.
7.     Metode hafalan.[12]
G.   Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik Dalam Mencetak Ulama
            Lembaga pendidikan islam memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan diantara nya lembaga yang mencetak ulama besar pada masa klasik adalah:
1. Al-Shuffah
Ketika Nabi Saw, pindah ke Madinah, pekerjaan pertama kali yang beliau lakukan adalah membangun masjid. Pada salah satu bagian masjid itu beliau pergunakan secara khusus untuk mengajar para sahabat. Ruangan itu dikenal dengan sebutan “al-Shuffah”.[13]
Menurut Prof. Muhammad Mustafa Azami yang dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa pendidikan al-shuffah merupakan perguruan tinggi yang pertama kali dalam islam, karena nabi Muhammad sebagai staf pengajar sedangkan para mahasiswanya adalah para sahabat beliau.
Bidang-bidang studi yang diajarkan di al-shuffah adalah Alquran, tajwid, dan semua ilmu ke Islaman di samping membaca dan menulis. Dan tujuan utama al-shuffah adalah mensucikan hati dan menerangi jiwa, sehingga mereka dapat meningkatkan diri dari tingkatan iman ke tingkatan ihsan.
Di samping itu, perguruan tinggi al-shuffah memiliki banyak alumni di antaranya:
a.) Abu Hurairah
Abu Hurairah r.a. adalah nama gelar yang diberikan Rasulullah Saw. Nama aslinya di zaman jahiliah adalah Abdus Syamsi. Kemudian setelah masuk       Islam, ia berganti nama Abdul . Ia dapat meriwayatkan sebanyak 5.374 hadis.
b.) Abdullah bin Umar
Abdullah bin umar adalah putra Umar bin Khattab dan teman Hafshah istri Nabi Muhammad Saw.Ia telah meriwayatkan sebanyak 2.630 hadis.[14]
c.) Abdullah bin Mas’ud
Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Al-Hadri yang bergelar Abu Abdurrahman,          termasuk golongan sahabat besar yang dekat dengan Rasulullah Saw dan telah meriwayatkan hadist sebanyak 848 hadist.
d.) Abdullah bin Amr bin Ash
Abdullah bin Amr bin Ash adalah seorang ahli fiqih yang selalu menunaikan shalat, bertobat dan beribadah. Ia menerima hadis dari Rasulullah sebanyak 7.000 hadis.
2.      Al-Azhar
Al-Azhar sebagai bukti historis monumental dan produk peradaban Islam yang tetap eksis sampai sekarang merupakan lembagaa tertua di dunia islam. Serta sebagai pelopor kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.[15] Pada awalnya al-Azhar bukan sebagai perguruan tinggi, tetapi al-Azhar merupakan sebuah masjid yang oleh khalifah Fatimiah dijadikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah mereka. Pada masa itu pula dibangun gedung atau istana khalifah yang berfungsi sebagai tempat untuk mengkoordinir dakwah dan membantu penyebarluasannya. Untuk menangani hal ini, dipilih dari seorang kepala dari para da’i yang telah memenuhi persyaratan, di antara persyaratannya ialah orang alim dari mazhab ahlul bait. Adapun para alumni dari Universitas al-Azhar di antaranya.
a.)       Syaikh Imam Muhammad Al-Khuraisy
b.)      Syaikh Imam Ibrahim Al-Barmawi
c.)     Syaikh Imam Muhammad Al-Maraghi

3.      Madrasah Nizhamiyah
            Madrasah Nizhamiyah merupakan satu institusi pendidikan Islam yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaan Saljuk. Dalam perjalanannya ternyata keberadaan Madrasah Nizhamiyah tetap eksis dalam waktu yang lama. Hal ini dikarenakan keterlibatan wajir Nizhamul Mulk sangat besar dengan memberikan beberapa fassilitas yang memadai, seperti dana yang cukup besar, guru-guru yang profesional, dan perpustakaan lengkap memuat lebih dari 6.000 jilid buku.[16]
            Madrasah  Nizhamiyah berkembang sangat cepat dengan menyelenggarakan sistem pendidikan yang maju dan paling modern di zamannya serta memiliki jaringan sekolah yang menyebar di seluruh wilayah Islami.
Diantara alumni madrasah Nizhamiyah yang sangat terkenal dan mengajar di almamaternya adalah:
a.) Al-Ghazali
Beliau dikenal sebagai seorang ahli filosof, ahli fiqih, sufi, reformer dan juga negarawan. Al-Ghazali menulis lebih dari 400 dan risalah-risalah
b.) Al-Juwaini
Ia adalah seorang ahli fiqih, ushul fiqih, dan ilmu kalam. Beliau terkenal dengan julukan Imam Haramain karena pernah tinggal di dua tanah suci (makkah dan madinah).[17]
Atas permintaan Perdana Menteri Nizhamul Mulk, Al-Juwaini kembali ke  negerinya dan mengajar di Madrasah Nizhamiyah sampai akhir hayatnya.

H. Perkembangan Pendidikan Islam Klasik
            Sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul sebagai tanda datangnya Islam sampai sekarang telah berjalan sekitar 14 abad lamanya. Pendidikan pada periode klasik antara tahun 650-1250 M.
1. Masa Nabi Muhammad SAW (611-632 M./12 SH.-11 H.)
            Pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad merupakanprototype yang terus menerus dikembangkan umat Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya.[18]
            Nabi Muhammad sebagai seorang yang diangkat sebagai pengajar atau pendidik (mu’allim). Disamping itu beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan pesan-pesan Allah yang terkandung dalam al-Qur’an. Dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah pengajar atau pendidik muslim pertama.[19]
Pada masa ini pendidikan Islam diartikan pembudayaan ajaran Islam yaitu memasukkan ajaran-ajaran Islam dan menjadikannya sebagai unsur budaya bangsa Arab dan menyatu kedalamnya. Dengan pembudayaan ajaran Islam ke dalam sistem dan lingkungan budaya bangsa arab tersebut, maka terbentuklah sistem budaya Islam dalam lingkungan budaya bangsa Arab. Dalam proses pembudayaan ajaan Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa Arab berlangsung dengan beberapa cara. Ada kalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran bersifat memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada dengan menambahkan yang baru. Ada kalanya Islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentang sama sekali dengan unsur budaya yang telah ada sebelumnya yang sudah menjadi adat istiadat. Ada kalanya Islam mendatangkan ajarannya bersifat meluruskan kembali nilai-nilai yang sudah ada yang praktiknya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.

2. Pendidikan Islam Di Masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M./12-41 H.)
            Setelah Rasulullah wafat,maka pemerintah Islam dipegang secara bergantian oleh Abubakar, Umar bin Khattab,Usman bin affan, dan Ali ibn Abi Thalib. Sistem pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga, pada masa Abu Bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab.Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Quran merupakan fardlu kifayah.[20]
            Peserta didik yang telah selesai mengikuti pendidikan dikuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.
            Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran dilakukan secara seorang demi seorang–mungkin dalam tradisi pesantren, metode itu biasa disebut sorogan, sedangkan pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah  (lingkaran) artinya proses pembelajaran dilaksanankan dimana murid-murid melingkari gurunya.[21]
            Pada masa ini juga sudah terdapat pengajaran bahasa Arab. Dengan dikuasainya wilayah baru oleh Islam, menyebabkan munculnya keinginan untuk belajar bahasa Arab sebagai pengantar diwilayah-wilayah tersebut. Orang-orang yang baru masuk Islam dari daerah-daerah yang ditaklukkan harus belajar bahasa Arab jika mereka ingin belajar dan mendalami pelajaran Islam.
            Pada masa khalifah Usman kedudukan peradaban Islam tidak jauh berbeda demikian juga pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Para sahabat diperbolehkan dan diberi kelonggaran meninggalkan Madinah untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dimiliki. Dengan tersebarnya sahabat-sahabat besar keberbagai daerah meringankan umat Islam untuk belajar sehinggapusat pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak hanya di Madinah, tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti kota Makkah dan Madinah (Hijaz), kota Bashrah dan Kufah (Irak), kota Damsyik dan Palestina (Syam), dan kota Fistat (Mesir). Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan Islam berkembang secara cepat.

3. Pendidikan Islam di Masa Dinasti Umayyah (41-132 H. / 661-750 M.)dan Dinasti Abasiyah (132-656 H./750-1258 M.)
                      Dengan berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin maka mulailah kekuasaan Bani Umayyah. Pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam masa ini, yakni dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah bani Umayyah–yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang berbuat dosa besar, wacana kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigma  berfikir secara mandiri.
              Pada zaman dinasti Umayyah dan Abbasiyah, telah adanya penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan seni bangunan.[22]
              Filsafat Yunani mulai berpengaruh dikalangan ilmuwan Muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan mencapai puncaknya pada masa Bani Abbasiyah ketika karya-karya filosof Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Syriah oleh Hunayn dan anaknya menerjemahkan dari bahasa Syaria ke bahasa Arab.
            Pengaruh dari gerakan penerjemahan ini terlihat dalam pengembangan ilmu pengetahuan umum yang memberikan motivasi bagi ilmuwan muslim untuk lebih banyak berkarya dalam kemajuan pendidikan Islam, sehingga muncul ilmuwan seperti Jabir ibn Hayyan, Al-Kindi, Al-Razi, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Al-Fazari, Ibnu Umar Khayyam, Ibnu Rusyd, dan sebagainya.[23]
            Melalui orang-orang kreatif, seperti  itulah pengetahuan Islam telah melakukan investigasi dalam ilmu kedokteran, teknologi,matematika, geografi dan bahkan sejarah.
            Ada lembaga yang dibuat pemerintah yaitu madrasah yang dalam pembuatannya itu sendiri terdapat kepentingan-kepentingan tertentu, baik itu kepentingan mazhab fiqih, teologi,kepentingan politik dan lain-lain.Pada masa Dinasti Bani Abasiyah sudah muncul lembaga-lembaga pendidikan yangdi buat oleh pemerintah, antara lain ; (1) lembaga pendidikan dasar (al-kuttab)[24], (2) lembaga pendidikan masjid (al-masjid), (3) al-hawanit al-waraqin, (4) tempat tinggal para sarjana (manazil al-‘ulama), (e) sanggar seni dan sastra (al-shalunat al-adabiyah), (f) perpustakaan (dawr al-kutub wa dawr al-‘ilm), dan (g) lembaga pendidikan sekolah (al-madrasah).
            Semua ‘institusi’ itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttabKedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan, seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-‘ulum di Kairo.

H. Tokoh-tokoh Pemikiran Pendidikan Islam Klasik
     1. Al-Ghazali

a.) Biografi Imam Al-Ghazali
            Imam Al Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i lahir 450 H atau 1058 M di Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran)[25]. Dia adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
            Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia
.[26]
            Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah atau  tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.[27]
b.) Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan
Dalam pandangan Al-Ghazali yang dikutip oleh Mahmud dalam bukunya pemikiran pendidikan islam mengatakan bahwa sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati adalah esensi dari manusia.Menurutnya subtansi manusia bukanlah terletak pada unsure-unsur yang ada pada fisiknya melainkan berada pada hatinya sehingga pendidikan diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia.[28] Tugas guru tidah hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan, meningkatkan dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jadi peranan guru disini tidak hanya mentransfer ilmu melainkan mendidik.

c.) Tujuan Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya
Secara ringkas, tujuan pendidikan Islam menurut Al Ghazali dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu :
1.( Tujuan mempelajari ilmu adalah membentuk insan kamil ( manusia sempurna) dengan tedensi mendekatkan diri kepada Allah.[29]
2.( Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[30]
3.( Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah
d. Hakikat dan Persyaratan Seorang Guru dalam Pandangan al-Ghazali
Pekerjaan yang paling mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya : "Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu menjadi dekat kepada Allah SWT. Al-Ghazali mengemukakan dalil yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadis diantaranya dalam QS. An-Nahl : 125.
Hakikat Guru didalam Al-Quran adalah Allah.Tapi tidak berati bahwa manusia tidak mempunyai tugas di dunia ini sebagai khalifah. Ditinjau dari misinya hakikaat guru adalah mengajak kejalan Allah dengan mengajarkan ilmu pengetahuan dan menjelaskan kebenaran yang telah diproleh kepada oranglain.[31]
Syarat pokok seorang guru, bagi Al Ghazali adalah berilmu, tetapi tidak semua yang berilmu pantas menjadi guru. Tetapi ia harus memenuhi kriteria-kriteria yang sangat ketat.
Menurut Al Ghazali, guru harus memiliki sifat-sifat sbb: (1) rasa kasih sayang dan simpatik, (2) tulus ikhlas, (3) jujur dan terpercaya, (4) Lemah lembut dalam memberikan nasihat. (4) berlapang dada, (5) memperhatikan perbedaan individu [32](7) mengajar tuntas, tidak kikir terhadap ilmu (8) mempunyai Idealisme.
e.) Kurikulum/Materi Pendidikan
Adapun mengenai materi pendidikan, Al Ghazali berpendapat bahwa Al Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahun.
Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu:
a. Ilmu Fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap  muslim yang bersumber dari kitabullah. ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban.[33]
b.  Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri, dan sebagainya.

    2. Pemikiran Ibn Maskawaih
a. Biografi Ibn Maskawaih
            Dalam Ensiklopedi Islam dikatakan, Ibn Maskawaih adalah seorang ahli sejarah dan filsafat. Disamping itu, ia juga seorang moralis, penyair serta ahli kimia.Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yakub bin Maskawaih. Ia dilahirkan pada 330 Hijrah (941 M)] di Kota Ray (Teheran sekarang), dan wafat tahun 421 H/ 1030 M.
            Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih. Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibn Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibn Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga.
            Tetapi di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya ia lalu tertarik untuk menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam. Setelah kematian Mu’izz, beliau telah dilantik menjadi Ketua Perpustakaan. Ini telah membuka peluang kepada Ibnu Maskawaih untuk menambah ilmu pengetahuan karena beliau berpeluang untuk membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuan Islam dan Yunani. Beliau kemudian dilantik menjadi Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah.
            Sehubungan dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau dalam mencari ilmu pengetahuan akhirnya memberi hasil yang bernilai kepadanya. Ibnu Maskawaih telah berhasil membina dan membuktikan ketokohannya sebagai ilmuan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
b. Tujuan Pendidikan
            Corak pemikiran pendidikan Ibn Maskawaih lebih bertedensi etis dan moral. Hal ini terlihat dari pendapatnya mengenai tujuan pendidikan yaitu sbb:
1)  Tercapainya akhlak mulia
2)  Kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan
Menurutnya tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia maka dengan pendidikan manusia dapat mencapai tujuannya yaitu kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan.[34]



c. Materi Pendidikan
            Menurut Ibn Maskawaih yang dikutip oleh Mahmud mengatakan bahwa materi pendidikan lebih menekankan pada materi yang bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia, dan menjadikan manusia sesuai dengan esensiasinya.
            Mengenai urutan yang harus diajarkan kepada perserta didik, yang pertama adalah mengenai kewajiban-kewajiban syariat sehingga peserta didik terbiasa melaksanakannya, yang kedua materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas terpuji telah tertanam dalam diri anak, yang ketiga yaitu meningkatkan setahap demi setahap pada materi ilmu lainya sehingga peserta didik mencapai tingkat kesempurnaan.
d. Metode Pendidikan menurut Ibn Maskawaih
1) Metode alami (tabi’iy)
Ibn Maskawaih mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu berdasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah.
2) Nasihat dan tuntunan
Ibn Maskawaih menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan nasihat dan tuntunan.

3) Metode Hukuman
Ibn Maskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilalkukan dalam mendidik salah satunya jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang ada.
4) Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan
Menurutnya apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berprilaku baik dia perlu dipuji.
5) Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Menurutnya mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan, keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan.[35]
  

BAB III
KESIMPULAN
       Pemikiran pendidikan islam klasik adalah pemikiran pendidikan yang secara khas memiliki ciri islami yang diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis yang bertujuan untuk memelihara, mengawetkan dan meneruskan waris.
      Landasan dasar pendidikan islam terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist yaitu QS. Al-Alaq 1-5 dan QS. Al-Mujadalah ayat 11
       Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia. Dikatakan berat karena guru mengemban kepercayaan (amanat) yang diberikan oleh masyarakat guna melaksanakan fungsi pendidikan yang bertanggung jawab memantau perkembangan kepribadian anak dari segala dimensinya dan bertanggung jawab memberikan pelayanan yang baik.
        Pada masa klasik, pakar  pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.
     Pendidikan Islam adalah rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan – kemampuan dasar dan kemampuan belajar, Lembaga pendidikan islam memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan
      Sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul sebagai tanda datangnya Islam sampai sekarang telah berjalan sekitar 14 abad lamanya. Pendidikan pada periode klasik antara tahun 650-1250 M.


[1]. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm.19
[2]. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan IslamRajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 101
[3]. Mahmud, op.cit., hlm.24

[4]. Ibid., hlm.26
[5]. http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/12/revealing-characteristics-of classical.html,2013, 15 April 2014

[6]. http://syafieh.blogspot.com/2014/01/perkembangan-islam-pada-masa-abbasiyah.html   
[7]. Badri Yatim, Dr. MA. Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Abbasiyah. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006.

[8]. Al-Quran dan Terjemahan Al-hikmah, Diponegoro, Bandung, 2005, hlm.597
[9].  Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm.141

[10]. Ibid.,hlm.113

[11]. Ibid.,hlm.119
[12]. http://makalahkomplit.blogspot.com/2012/09/perkembangan-pemikiran-pedidikan-islam.html, 21 April 2014

[13]. Abuddin Nata, op.cit., hlm. 101
[14]. Ibid.,hlm.105
[15]. Ibid.,hlm.106
[16]. Ibid.,hlm.109

[17]. Ibid.,hlm.110
[18]. Ibid.,hlm.10
[19].http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/12/revealing-characteristics-of classical.html,2013, 15 April 2014

[20]. http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/12/revealing-characteristics-of classical.html,2013, 15 April 2014
[21]. Abuddin Nata, op.cit., hlm.34

[22].http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/12/revealing-characteristics-of classical.html,2013, 15 April 2014
[23]. Badri Yatim, Sejarah Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2010,hlm 57
[24]. Ibid., hlm. 129
[25].Chairul Anwar, Reformasi Pemikiran Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, Fakta Pers, Bandar Lampung, 2007, hlm.1
[26].Mahmud, op.cit., hlm.244
[27]. Achmad Sarbanun, Filsafat Pendidikan Islam, Fakta Pers, Bandar Lampung, 2013, hlm.95
[28].Mahmud, op.cit, hlm. 245
[29]. Chairul Anwar, op.cit, hlm 7
[30]. Mahmud, op.cit, hlm. 256
[31]. Ibid., hlm 247
[32]. Ibid., hlm.248
[33]. http://makalahkomplit.blogspot.com/2012/09/perkembangan-pemikiran-pedidikan-islam.html, 21 April 2014

[34]. Ibid., hlm.282
[35]. Ibid., hlm.286-288

DAFTAR PUSTAKA


Abudin Nata, Filsafat Pendidikan IslamRajawali Pers, Jakarta, 2012

Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2012.

Achmad Sarbanun, Filsafat Pendidikan Islam, Fakta Pers, Bandar Lampung, 2013.

Al-Quran dan Terjemahan Al-hikmah, Diponegoro, Bandung, 2005.

Badri Yatim, Sejarah Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Chairul Anwar, Reformasi Pemikiran Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, Fakta   Pers, Bandar Lampung, 2007.
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011.

No comments:

Post a Comment